MediaBagi.com. Sejarah Dugderan, tradisi menyambut Ramadan di Kota Semarang. Jika ditanya tentang tradisi apa yang ada di Kota Semarang untuk menyambut datangnya bulan Ramadan, pasti orang akan langsung menjawab Dugderan.
Ya … Dugderan sangat identik dengan tradisi menyambut bulan suci Ramadan bagi warga Kota Semarang, Jawa Tengah. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun dan selalu dirayakan dengan meriah setiap tahunnya.
Lantas bagaimana sebenarnya sejarah Dugderan dan bagaimana tradisi ini dilestarikan oleh warga Semarang? Berikut ulasannya.
Sejarah Dugderan

Dugderan merupakan tradisi perayaan menyambut bulan Ramadan yang dilakukan oleh umat Islam di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tradisi ini juga menjadi pesta rakyat tahunan bagi masyarakat Semarang.
Digelarnya tradisi Dugderan awalnya sebagai upaya pemerintah untuk menyamakan awal puasa dan hari raya. Sampai saat ini, tradisi Dugderan masih diselenggarakan setiap tahunnya.
Di dalam buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia karya Fitri Haryani disampaikan bahwa tradisi dugderan adalah salah satu cara mencurahkan rasa rindu masyarakat pada bulan Ramadan.
Dugderan juga merupakan tradisi menyambut datangnya bulan suci yang dilakukan 1-2 minggu sebelum Ramadan yang diakhiri sehari sebelum bulan puasa.
Tradisi Dugderan ini dikatakan sebagai salah satu cara masyarakat untuk mencurahkan rasa rindunya terhadap bulan Ramadan.
Mengutip dari buku Sejarah Islam Nusantara karya Rizem Aizid, kata ‘dugder’ dalam tradisi Dugderan diambil dari perpaduan bunyi bedug ‘dug dug’ dan bunyi meriam yang mengikutinya, yaitu ‘der’. Karena itulah upacara penyambutan bulan suci Ramadan tersebut disebut dengan nama Dugderan atau Dhug Der.
Baca : 10 Manfaat Puasa bagi Kesehatan, Salah Satunya Mengaktifkan Detoksifikasi
Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh Bupati Semarang, yaitu Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, yang awalnya bertujuan untuk menengahi perbedaan penentuan awal puasa.
Tradisi Dugderan sudah dilaksanakan sejak tahun 1881 M. Berdasarkan ceritanya, di zaman dahulu umat Islam selalu memiliki perbedaan pendapat terkait penentuan hari dimulainya puasa Ramadan.
Selanjutnya, Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat memberanikan diri untuk menentukan dimulainya hari puasa Ramadan, yaitu setelah bedug Masjid Agung dan meriam bambu di halaman kabupaten dibunyikan masing-masing sebanyak tiga kali.
Sebelum membunyikan bedug dan meriam, akan diadakan upacara di halaman kabupaten terlebih dahulu. Sejak saat itu, umat islam di Semarang tidak lagi berbeda pendapat dan menjadikannya sebagai budaya lokal setempat.
Perayaan tradisi Dugderan dimulai dengan pemukulan bedug dan ditutup dengan perayaan letusan mercon dan kembang api.
Makna bedug dalam tradisi Dugderan digunakan sebagai penanda telah masuk bulan puasa. Sementara itu, suara letusan mercon, dan kembang api bermakna sebagai kebahagiaan di akhir bulan puasa dan datangnya Idul Fitri.
Pelaksanaan Tradisi Dugderan
Tradisi Dugderan biasanya dilaksanakan sejak pagi hari sampai menjelang senja, yaitu sekitar pukul 8 pagi sampai Magrib.
Tradisi Dugderan biasanya diawali dengan digelarnya pasar kaget, yaitu pasar rakyat dan dilanjutkan dengan karnaval, seperti acara warak ngendok yang diikuti oleh arak-arakan mobil.
Di dalam buku 100 Tradisi Unik Indonesia karya Fatiharifah, tradisi Dugderan memiliki maskot yang ikut diarak ketika festival berlangsung, yaitu Warak Ngendog.
Warak Ngendok merupakan makhluk imajiner yang merupakan maskot Semarang, biasanya merupakan arakan binatang jadi-jadian yang bertubuh kambing, berkepala naga, memiliki sisik emas yang terbuat dari kertas warna-warni. Binatang ini juga dilengkapi dengan telur rebus yang disebut sebagai ‘endog’.
Makna dari maskot Warak Ngendok ini adalah warak yang sedang bertelur. Saat diselenggarakannya tradisi Dugderan yang pertama kali untuk menyambut Ramadan, masyarakat Semarang sedang mengalami krisis pangan dan telur sehingga pada masa itu makanan tersebut menjadi makanan mewah.
Setelah dilakukan acara pasar rakyat dan karnaval, akan digelar halaqah tentang pengumuman awal dimulainya puasa dengan ditandai oleh pemukulan bedug. Tradisi Dugderan ini kemudian diakhiri dengan pembacaan doa bersama-sama.***