MediaBagi.com. Urgensi integrasi koding dan kecerdasan artifisial dalam pendidikan makin meningkat seiring dengan perkembangan Industri 4.0 dan 5.0, yang menuntut sumber daya manusia unggul dengan pemahaman dan keterampilan digital yang kuat.
Tanpa literasi digital dan kemampuan di bidang teknologi digital yang memadai, generasi muda akan menghadapi kesulitan dalam bersaing di dunia kerja yang makin berbasis teknologi.
Oleh karena itu, integrasi koding dan kecerdasan artifisial dalam kurikulum sekolah bukan sekadar inovasi, melainkan kebutuhan fundamental dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Pemerintah, sekolah, industri, dan masyarakat perlu bersinergi dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan sehingga banga Indonesia tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga produsen inovasi yang mampu bersaing di tingkat global.
Pembelajaran koding dan KA tidak hanya meningkatkan literasi digital, tetapi juga membangun keterampilan berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan pemecahan masalah—keterampilan esensial dalam dunia yang terus berubah.
Pendukung Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial

Pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial membutuhkan kontribusi pendidik dalam proses pembelajaran dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan jenjang pendidikan.
Keterampilan yang perlu disiapkan oleh guru dalam memfasilitasi pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial adalah pengetahuan tentang literasi digital serta teknologi dan kecerdasan artifisial.
Sebagai contoh di Swedia, guru bertanggung jawab agar peserta didik mampu menggunakan perangkat digital sejalan dengan cara menstimulasi pengembangan dan pembelajaran. Guru perlu memiliki pengetahuan tentang pendidikan matematika dan pemrograman. Guru juga perlu memperhatikan kemungkinan dan batasan pada pemrograman.
Di dalam konteks kesiapan guru, banyak guru yang merasakan kekhawatiran dan kurangnya kepercayaan diri dalam mengajarkan kecerdasan artifisial karena kurangnya akses untuk mempelajari pengetahuan pedagogis dan materi tentang teknologi yang relevan.
Oleh karena itu, salah satu kebutuhan yang penting adalah menyediakan pelatihan profesional yang komprehensif untuk membantu guru meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan kemampuan mengajar.
Pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial membutuhkan infrastruktur dan perangkat yang memadai. Hal yang harus dipersiapkan untuk menunjang pembelajaran, seperti komputer atau perangkat pendukung dan materi yang disusun berbentuk paket (tematik) sebagai bahan ajar guru.
Infrastruktur yang diperlukan antara lain kurikulum, materi pembelajaran untuk guru, dan perangkat penunjang praktik belajar pemrograman. Untuk keterampilan, diperlukan guru yang memiliki pengetahuan tentang kecerdasan artifisial dan kompetensi dalam menyampaikan pembelajaran berkaitan dengan kecerdasan artifisial.
Perangkat yang digunakan dalam pembelajaran kecerdasan artifisial cukup beragam, di antaranya robot dan tablet, Generative Artificial Intelligence, Python, Google Colab, Jupyter Netbooks menjadi alat yang dimanfaatkan selama pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial, Scratch dan App Inventor, platform block-based coding.
Perangkat lunak koding yang paling sering digunakan dalam pembelajaran koding menurut temuan penelitian Mills dkk. (2024) adalah Scratch (32.6%), Lego (Mindstorms, Education WeDo, 6.1%), Game Maker Studio (6.1%), dan Makey Makey (6.1%).
Di sisi lain, infrastruktur dan perangkat ini perlu menyesuaikan dengan kondisi sekolah dan peserta didik. Su, Zhong s Ng (2022) mengemukakan bahwa perangkat pembelajaran perlu menyesuaikan dengan jenjang pendidikan peserta didik. Misalnya, pada pembelajaran anak usia dini dapat menggunakan robot.
Di tingkat SD, anak mulai dikenalkan dengan pemrograman dasar menggunakan Scratch dan Python. Sementara pemanfaatan kecerdasan artifisial mulai digunakan pada tingkat SMP dan SMA.
Pemetaan yang dilakukan UNESCO (2022) menunjukkan beberapa temuan penting terkait pengembangan pembelajaran kecerdasan artifisial. Pertama, pemerintah yang menerapkan pembelajaran kecerdasan artifisial masih terbatas, yaitu baru sejumlah 11 negara.
Kedua, komitmen kuat dari pemerintah dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran koding dan kecerdasan artifisial merupakan keniscayaan.
Ketiga, pengembangan sumber daya dan pelatihan guru merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Keempat, tujuan dan hasil pembelajaran seharusnya berfokus pada keterampilan utama yang dibutuhkan. Kelima, pembelajaran berbasis projek merupakan model yang paling banyak digunakan sebagai sarana pembelajaran kecerdasan artifisial.
Berdasarkan hal tersebut, UNESCO memberi rekomendasi praktis mengenai kebutuhan yang diperlukan dalam proses pengembangan kurikulum kecerdasan artifisial, yaitu: melakukan penelitian atau analisis kebutuhan, pengembangan sumber daya untuk guru, pelatihan guru, perekrutan staf tambahan, keterlibatan sektor swasta atau sektor ketiga, peningkatan infrastruktur di sekolah, dan pengadaan sumber daya tambahan untuk sekolah atau ruang kelas (UNESCO, 2022).